Menurut Bare and Smeltzer (2001 : 2357) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Menurut Price and Wilson (1995 : 183) fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
Menurut Doengoes (2000 : 761) fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang yang dapat diklasifikasikan lebih dari seratus lima puluh faktur dan lima yang utama adalah sebagai berikut :
- Fraktur incomplete : fraktur yang hanya melibatkan bagian potongan menyilang tulang, salah satu sisi patah dan yang lainnya biasanya hanya bengkok (greenstick).
- Fraktur complete : fraktur yang garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan fragmen tulang biasanya berubah tempat.
- Fraktur tertutup (simple) : fraktur tidak meluas melewati kulit.
- Fraktur terbuka (compound) : fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit di mana potensial terjadi infeksi.
- Fraktur patologis : fraktur terjadi pada penyakit tulang (seperti : kanker, osteoporosis) dengan tidak ada trauma atau minimal.
B. Etiologi
Menurut Bare and Smeltzer (2001 : 2357) penyebab dari fraktur adalah dikenalnya tulang dengan stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya, pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan putir, mendadak dan kontraksi otot ekstrim. Menurut Apley (1995 : 238) penyebab dari terjadinya fraktur antara lain : adanya peristiwa trauma tunggal, tekanan yang berulang-ulang atau kelemahan abnormal pada tulang (frakur patologik).
Menurut Bare and Smeltzer (2002 : 2376) ada insidensi tinggi fraktur panggul pada lansia, yang tulangnya biasanya sudah rapuh karena osteoporosis (terutama wanita) dan yang cenderung sering jatuh kelemahan otot kwadrisep, kerapuhan umum akibat usia, dan keadaan yang mengakibatkan penurunan perfusi arteri ke otak (serangan iskemi, transien, anemia, emboli dan penyakit kardiovaskuler, efek obat) berperan dalam insidensi terjadinya jatuh. Pasien mengalami fraktur panggul sering mempunyai kelainan medis yang berhubungan (misal : kardiovaskuler, pulmonal, renal, endokrin).
Fraktur panggul dianggap oleh pasien dan keluarga merupakan bencana yang akan mengakibatkan efek negatif pada gaya hidup pasien dan kualitas hidupnya.
C. Manifestasi Klinis
Menurut Doengoes (2000 : 761) tanda dan gejala dari fraktur antara lain keterbatasan atau kehilangan fungsi pada bagian yang fraktur, hipertensi, takikardia, spasme otot, deformitas lokal (angulasi abnormal, krepitasi) nyeri berat, laserasi kulit, perdarahan, perubahan warna dan pembengkakan lokal.
Menurut Bare and Smeltzer (2001 : 2358) manifestasi klinis pada fraktur antara lain :
- Nyeri terus-menerus
- Kehilangan fungsi
- Pada fraktur terjadi pemendekan tulang
- Kepitus
- Pembengkakan dan perubahan warna
D. Anatomi dan Patologi
Fraktur kolum femur paling sering terjadi pada penderita yang berusia di atas 50 tahun. Bila terjadi perpindahan fragmen, ekstremitas tersebut berada dalam keadaan rotasi eksterna dan adduksi. Pemendekan ekstremitas biasanya nyata. Pergerakan artikulasio kokse menyebabkan rasa sakit. Bila fraktur tersebut impacted dalam posisi valgus ekstremitas yang cidera mungkin lebih panjang dari pada sisi yang berlawanan dan rotasi eksterna secara aktif mungkin tidak dapat dilakukan. Bila fragmennya tidak berpindah tempat dan frakturnya stabil, rasa sakit pada gerakan ekstrim panggul secara pasif mungkin merupakan satu-satunya penemuan yang penting. Fakta bahwa pasien tersebut dapat menggerakkan ekstremitasnya secara aktif sering mempersulit diagnosa yang tepat.
Sebelum terapi diberikan buatlah foto anteroposterior dan lateral yang berkualitas baik. Traksi dan rotasi interna dari ekstremitas tersebut yang dilakukan dengan berhati-hati sementara membuat foro anteroposterior dapat memberikan hubungan fragmen-fragmen yang lebih baik untuk memperlihatkan arah garis fraktur.
E. Patofisiologi
Penyebab dari terjadinya fraktur antara lain karena adanya trauma dan kelemahan abnormal pada tulang (Apley, 1995 : 235). Jika satu tulang sudah pata, maka jaringan lunak sekitarnya juga rusak dan dapat menembus kulis sehingga dapat terjadi kontaminasi oleh lingkungan pada tempat terjadinya fraktur. Cidera yang terjadi juga dapat menimbulkan spasme otot dan adanya luka terbuka yang mengakibatkan terpotongnya ujung-ujung syaraf bebas sehingga merangsang dikeluarkannya bradikinin dan serotinin sehingga menimbulkan nyeri. Rusaknya jaringan lunak di sekitar patah tulang dan terpisahnya periostium dari tulang menimbulkan perdarahan yang cukup berat sehingga membentuk bekuan darah yang kemudian menjadi jaringan granulasi di mana sel-sel pembentuk tulang primitif (osteogenik) berdiferensiasi menjadi osteoblast dan kondroblast yang akan mensekresi fosfat yang merangsang deposit kalsium sehingga terbentuk lapisan tebal (kalus) yang terus menebal, meluas dan bersatu dengan fragmen tulang menyatu. Kalus tulang akan mengalami remodelling dimana osteoblas akan membentuk tulang baru yang akhirnya menjadi tulang sejati (Price and Wilson, 1995 : 1186 – 1187).
F. Pathway
G. Fokus Pengkajian
Menurut Doengoes (2000 : 761) fokus pengkajian pada pasien dengan fraktur adalah sebagai berikut :
1. Aktifitas / istirahat
Tanda : Keterbatasan atau kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder dari pembengkakan jaringan dan nyeri).
2. Sirkulasi
Tanda : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri atau ansietas) da hipotensi (kehilangan darah), takikardia (respon stress, hipovolemia) penurunan nadi atau tidak ada nadi pada bagian yang cidera, pembengkakan jaringan atau massa, hematoma pada sisi cidera.
3. Neurosensori
Gejala : Hilang gerakan atau sensasi, spasme otot, babas kesemutan.
Tanda : Dedormitas lokal angulasi, abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, (bunyi berderik), spasme otot, kelemahan atau kehilangan fungsi, agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri atau ansietas dan trauma lain).
4. Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba saat cidera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan atau kerusakan tulang dapat berkurang pada immobilisasi), tidak ada nyeri akibat kerusakan saraf, spasme atau kram otot (setelah immobilisasi).
5. Penyuluhan / pembelajaran
Gejala : Lingkungan cidera.
6. Keamanan
Tanda : Laserasi kulit, ovolsi jaringan, perdarahan, perubahan warna, pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).
H. Fokus Intervensi
Menurut Doengoes (2000 : 762) fokus intervensi pada pasien dengan fraktur adalah sebagai berikut :
1. Resiko tinggi terhadap trauma (tambahan) berhubungan dengan kehilangan integritas tulang (fraktur).
Tujuan : Resiko trauma (tambahan tidak terjadi).
Kriteria hasil :
Intervensi :
a. Pertahankan tirah baring atau ekstremitas sesuai indikasi, berikan sokongan sendi di atas dan di bawah fraktur bila bergerak atau membalik.
b. Letakkan papan di bawah tempat tidur atau tempatkan pasien pada tempat tidur ortopedik.
c. Sokong fraktur dengan bantal atau gulungan selimut, pertahankan posisi netral pada bagian yang sakit dengan bantal pasir, pembebat, gulungan trokanter, papan kaki.
d. Evaluasi pembebat ekstremitas terhadap resolusi edema.
e. Kolaborasi : kaji ulang foto.
f. Berikan atau pertahankan stimulasi listrik bila diperlukan.
2. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang cidera pada jaringan lunak.
Intervensi :
a. Pertahankan immobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, pembebat.
b. Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena.
c. Tinggikan penutup tempat tidur : pertahankan linen terbuka pada jari kaki.
d. Latihan rentang gerak aktif dan pasif.
e. Berikan alternatif tindakan kenyamanan.
f. Ajarkan teknik manajement stress.
g. Kolaborasi pemberian obat dan kompres digin sesuai indikasi.
3. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan atau interupsi aliran darah, cidera vaskuler langsung pembentukan trombus.
Tujuan : Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer tidak terjadi.
Intervensi :
a. Lepaskan perhiasan ari ekstremitas yang sakit.
b. Evaluasi kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan distal terhadap cidera.
c. Lakukan pengkajian neuromuskuler dan tes sensasi saraf perifer.
d. Pertahankan peninggian ekstremitas yang cidera kecuali dikontraindikasikan.
e. Awasi tanda vital, tanda-tanda pucat atau sianosis.
f. Kolaborasi : pemberian kompres, bebat, spalk sesuai kebutuhan.
4. Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah atau emboli lemak, perubahan alveolar atau kapiler.
Tujuan : Resiko tinggi kerusakan pertukaran gas tidak terjadi
Intervensi :
a. Awasi frekuensi pernafasan atau auskultasi bunyi nafas.
b. Atasi jaringan cidera, atau tulang dengan lembut.
c. Kolaborasi : beri terapi oksigen.
d. Kolaborasi : awasi pemeriksaan GDA, kalsium, Hb dan LED.
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromusker : nyeri atau ketidaknyamanan.
Tujuan : Mobilitas fisik efektif
Intervensi :
a. Kaji derajat immobilisasi dan dorong aktifitas terapeutik.
b. Berikan papan kaki, bebat dan ubah posisi secara periodik.
c. Bantu atau dorong perawatan diri atau kebersihan.
d. Berikan diit tinggi protein, karbohidrat, vitamin, mineral.
e. Kolaborasi : konsul dengan ahli terapi fisik, rehabilitasi.
6. Kerusakan integritas kulit atau jaringan berhubungan dengan cidera rusuk, fraktur terbuka, bedah, perbaikan, pemasangan traksi.
Tujuan : Resiko tinggi kerusakan integritas kulit atau jaringan tidak terjadi.
Intervensi :
a. Kaji kulit untuk luka terbuka.
b. Pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan ubah posisi dengan sering.
c. Bersihkan kulit dengan sabun dan air.
d. Observasi untuk potensial area yang tertekan.
e. Instruksikan pasien atau orang terdekat untuk menghindari masukan obyek ke dalam gips.
f. Kolaborasi : buat gips dengan katup tunggal, ganda tau jendela sesuai protokol.
7. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer, kerusakan kulit, trauma jaringan.
Tujuan : Resiko tinggi infeksi tidak terjadi.
Intervensi :
a. Inspeksi kulit untuk adanya iritasi atau robekan kontinuitas.
b. Observasi luka untuk pembentukan gula, krepitasi, perubahan warna kulit.
c. Kaji tonus otot, refleks tendon dalam dan kemampuan berbicara.
d. Selidiki nyeri tiba-tiba.
e. Kolaborasi : pemeriksaan lab (darah lengkap, LED)
8. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan, tidak mengenal sumber informasi.
Tujuan : Pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan penyakitnya
Intervensi :
a. Kaji pengetahuan pasien tulang kondisi, prognosis, pengobatan penyakitnya.
b. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaannya.
c. Diskusikan tindakan yang akan dilakukan.
d. Beri penyuluhan mengenai kondisi prognosis pengobatan.
e. Libatkan keluarga dalam pemberian penyuluhan.
0 komentar:
Posting Komentar